Revolusi Sosial di Kesultanan Langkat

Oleh: Dahlena Sari Marbun *)

foto ilustrasi

Datanglah wahai maut,

Lepaskan aku dari nestapa

Penggalan puisi di atas adalah karya Amir Hamzah yang berjudul Buah Rindu. Puisi tersebut adalah karya terakhir Amir Hamzah sebelum akhirnya berkalang tanah di pucuk senjata Republik yang dibelanya. Orang mengenal Amir Hamzah sebagai penyair dari kalangan Pujangga Baru, namun tak semua orang mengenal bahwa Amir Hamzah adalah bagian dari kekejian Revolusi Sosial yang terjadi pada 1946-1948 di Sumatera Timur, khususnya di Kesultanan Langkat.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Indonesia mengalami persoalan integrasi. Kesultanan yang ada di Keresidenan Sumatera Timur tidak langsung menjadi bagian Republik Indonesia, sebab proklamasi yang dibacakan baru sampai enam bulan kemudian. Itu pun sikap para kesultanan yang ada di Sumatera Timur masih belum jelas.

Kesultanan Langkat adalah salah satu dari kesultanan yang ada di Sumatera Timur yang sikapnya dianggap belum jelas atau bahkan dianggap tidak mendukung kemerdekaan. Oleh sebab itu Kesultanan Langkat tersapu Revolusi Sosial yang meluluhlantakkan segala pondasi kekuasaan Kesultanan Langkat. Sultan Mahmud dan keluarganya menjadi korban keberingasan Revolusi Sosial. Bahkan, konon katanya, kedua putri Sultan Mahmud menjadi korban perkosaan di depan ayahnya. Pembunuhan, perusakan, dan pembantaian golongan bangsawan kesultanan mewarnai hari-hari di bulan Maret 1946.

Kemegahan Kesultanan Langkat

Dalam catatan historis, Kesultanan Langkat adalah kesultanan yang paling megah di antara kesultanan-kesultanan yang lain. Pemasukan Kesultanan Langkat tidak hanya didapat dari konsesi perkebunan, melainkan tambang minyak yang terdapat di Pangkalan Brandan. Pada paruh pertama abad ke-20 tambang minyak di Pangkalan Brandan adalah tambang minyak bumi terbesar kedua di dunia. Bisa dibayangkan dengan tambang itu sendiri saja sangat mampu untuk menghidupi seluruh kawula sultan.

Narasumber yang berhasil diwawancarai setidaknya selalu menyebutkan bahwa masyarakat Melayu di Kesultanan Langkat tak pernah merasakan kesusahan sejak Kesultanan Langkat bekerja sama dengan Belanda. Mereka bahkan menolak disebut sebagai jajahan Belanda. Hasil bumi yang dihasilkan pada masa kolonial juga dirasakan oleh seluruh masyarakat Melayu yang menjadi kawula Kesultanan Langkat. Pada periode kolonial orang Melayu tak perlu bekerja untuk menghidupi dirinya, sebab royalti dari kesultanan dengan Belanda sudah lebih dari cukup. Justru karena kemakmuran yang dirasakan tersebut, masyarakat lain menyebut orang Melayu sebagai “orang malas”. Padahal seyogyanya bukanlah seperti itu.

Kesultanan Langkat pada dasarnya adalah kesultanan yang lebih punya posisi tawar dibandingkan dengan kesultanan-kesultanan lain yang ada di Sumatera Timur. Menurut Jan Breman (1994) ketika pertama kali Belanda datang memamerkan kekuatan angkatan lautnya di Malaka, Langkat tidak langsung tunduk. Hal ini berbeda dengan wilayah Deli yang segera takluk karena memang kekuatannya lebih lemah dibandingkan dengan kesultanan-kesultanan lain di Sumatera Timur. Kesultanan Langkat masih memiliki hubungan dengan Kesultanan Aceh yang cukup kuat yang bisa menghalau Belanda jika terjadi kontak senjata. Akan tetapi ketika satu persatu kesultanan-kesultanan di Sumatera Timur akhirnya takluk pada Belanda, Kesultanan Langkat memiliki posisi yang sulit sebab secara geografis hal ini tidaklah menguntungkan. Pada pertengahan abad ke-19 Kesultanan Langkat takluk pada Belanda.

Dominasi kekuasaan Belanda atas Kesultanan Langkat berbeda dengan dominasi Kerajaan Aceh dalam segi kemakmuran. Pada masa Kolonial Belanda justru kemakmuran dapat dirasakan oleh segenap rakyat Kesultanan Langkat. Meskipun begitu hal yang patut dicermati adalah kemakmuran tersebut yang justru dianggap sebagai pemicu Revolusi Sosial pada 1946.

Antara Fitnah dan Revolusi

Meskipun pada 1946 terjadi peristiwa yang disebut sebagai revolusi, para korban dari revolusi itu sendiri menganggap bahwa yang sebenarnya terjadi adalah genosida. Berbagai kekejian yang tak berperikemanusiaan menghampiri para keluarga sultan beserta para pendukungnya. Mereka tidak menganggap hal itu sebagai revolusi kecuali hanya kekejian belaka.

Apabila dicermati secara mendalam, barangkali hal ini ada benarnya. Ungkapan Revolusi Sosial terlalu lembut dari kejadian sebenarnya. Di masa-masa awal proklamasi, para kesultanan di Sumatera Timur sebenarnya telah sepakat untuk bergabung pada Republik Indonesia yang baru merdeka. Menurut Tengkoe Mochtar Aziz, saudara muda Sultan Langkat, raja-raja dan Komite Nasional Pusat Sumatera Timur telah mengadakan pertemuan sebelum Revolusi Sosial tersebut. Tujuannya adalah pada Mei 1946 daerah Sumatera Timur sudah siap menjadi bagian dari Republik Indonesia yang dipimpin secara demokratis. Akan tetapi sebelum itu tercapai Revolusi Sosial telah merusaknya di bulan Maret 1946. Gambaran Revolusi Sosial sangat jauh dari makna yang terkandung dari frasa itu sendiri. Perubahan hal-hal mendasar secara cepat dibarengi dengan penghancuran moril dan materil yang sangat membekas. Kekejaman tersebut hanya dapat disetarakan dengan frasa genosida daripada revolusi.

Menurut informan yang memahami Revolusi Sosial tersebut menyebutkan bahwa peristiwa itu disebabkan fitnah yang berkembang sejak proklamasi dikumandangkan. Ada anggapan bahwa komunis menjadi dalang di balik itu semua. Namun, hal tersebut masih perlu dibuktikan sebab komunis dalam catatan sejarah di Sumatera Timur tidak hadir di masa Revolusi Sosial. Justru kalangan sosialis lah yang paling kuat. Hal ini bisa kita lihat dari golongan-golongan dan laskar-laskar yang terdapat pada masa awal kemerdekaan. Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), Barisan Harimau Liar, serta kelompok lainnya yang teridentifikasi sebagai kalangan sosialis menjadi aktor dalam peristiwa Revolusi Sosial.

Meskipun persoalan komunis atau sosialis atau ideologi apapun yang menjadi dalam dari sebuah gejolak peristiwa sejarah, yang jelas persoalan fitnah lebih banyak berhembus kencang. Tengkoe Yasir dari keluarga Kesultanan Asahan menyebutkan bahwa fitnah yang berhembus adalah latar belakang utama terjadinya Revolusi Sosial. Tidak bisa dipastikan berasal dari mana fitnah tersebut. Ketika peristiwa terjadi orang-orang yang bergerak dikenali sebagian besar berasal dari kuli perkebunan. Artinya ada persoalan lain yang menyebabkan munculnya Revolusi Sosial yang berkaitan dengan persoalan tanah dan tenaga di Sumatera Timur. Dengan Revolusi Sosial maka turut merubah sistem dasar atas persoalan tanah dan kerja.

Sikap Kekinian

Sebagai sebuah peristiwa sejarah, Revolusi Sosial yang terdapat di Kesultanan Langkat khususnya, dan kesultanan-kesultanan lain pada umumnya di Sumatera Timur adalah peristiwa besar yang tak mungkin terlupakan begitu saja. Sebagai kajian akademik, persoalan Revolusi Sosial barangkali telah dikupas kulit demi kulit. Hanya saja sikap nyata dari berbagai pihak terkait masih belum jelas.

Dalam hal kepemilikan aset adalah contoh yang bisa dikaitkan sikap yang masih mendua pihak terkait dengan para pewaris. Lahan konsesi perkebunan antara pihak kesultanan dengan pihak kolonial tidak kembali pada masyarakat Melayu atau keluarga sultan, melainkan dikuasai oleh negara. Di Sumatera Timur masih muncul konflik atas kepemlikan lahan antara orang Melayu yang berhak atas tanah secara ulayat dengan berbagai pihak seperti masyarakat pendatang, bekal kuli perkebunan, hingga pihak korporat dan negara. Belum ada kejelasan atas aset tersebut kepada siapa yang lebih berhak atas kepemilikan lahan.

Sementara itu penggerusan struktur sosial telah diabaikan selama ini. Kekuasaan kesultanan tak lagi mendapat pengaruh apa-apa dalam komunitas masyarakat di Kesultanan Langkat kecuali hanya bagian heritage yang perlu dilestarikan. Maka syair yang dibuat oleh Amir Hamzah benarlah adanya, bahwa maut hanyalah sikap yang paling nyata untuk melepaskan diri dari nestapa. @

*) Dosen FKIP Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) dan Kepala Pusat Studi Kajian Sejarah Lembaga Penelitian UISU Medan

Print Friendly