Satukan Tekad Lawan Hoax dan Politik Uang, MASYARAKAT CERDAS, PILKADA SERENTAK BERKUALITAS

PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) serentak pada 27 Juni 2018 tampaknya akan menjadi uji kekuatan sekaligus pertaruhan ikhtiar berdemokrasi bangsa ini dalam mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain terbesar kedua, karena diikuti 171 daerah (13 provinsi, 39 kota dan 115 kabupaten), pesta demokerasi ini sekaligus dihadapkan pada tantangan berat, lantaran untuk pertama kali pemilihan presiden dan legislatif dihelat bersamaan tahun 2019.

 

Sukses dengan pilkada 9 Desember 2015 yang diikuti 272 daerah, disusul 17 Februari 2017 di 101 daerah, pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil dan walikota bersama wakilnya kali ini menjadi “ajang babak kualifikasi menuju babak final” (pemilihan presiden/legislatif), yang akan menentukan ke mana arah bangsa ini melangkah di masa depan.

 

Bukan hanya rumitnya hal-hal teknis, seperti jumlah pemilih yang diprediksi meningkat, dan jumlah kotak suara dari semula empat menjadi lima – mulai DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten – plus memilih pasangan calon presiden dan wakil presiden, tetapi di saat yang sama banyak masalah yang mengintai proses dan tahapan pelaksanaan krusial itu. Tidak usah ragu untuk menyebut bahwa gangguan-gangguan tadi tampaknya bersumber dari sejumlah masalah, termasuk politik uang dan berita miring alias hoax – yang diibaratkan sebagai kejahatan demokrasi.

 

Tak terkecuali untuk Provinsi Sumatera Utara (Sumut), yang menggelar pemilihan gubernur serentak dengan pemilihan bupati di Kabupaten Deli Serdang, Dairi, Batubara, Tapanuli Utara, Padang Lawas (Palas), Padang Lawas Utara (Paluta) dan walikota Padang Sidempuan, dugaan praktik sogok-sana sogok-sini plus janji-janji untuk memenangkan pasangan calon (paslon) tertentu dan penyebaran berita yang belum teruji kebenarannya berhembus kencang dan menjadi trending topic (bahasan mutahir) berbagai kalangan.

 

Jadi, meski deklarasi pilkada damai dan menolak berita palsu dan perbuatan kongkalikong diimbali materi telah dibuhul di seantero negeri, termasuk di Sumut, tidak berarti keadaan aman-aman saja.

 

Komisioner KPU RI, Ilham Syahputra pada acara deklarasi kampanye damai di Taman Budaya Sumatera Utara, Jalan Perintis Kemerdekaan, Medan, Minggu 18 Februari 2018 mengingatkan, jika tidak diantisipasi, metode dan bentuk gangguan selama pilkada dapat berubah, terutama di tahapan krusial, yakni pemungutan dan penghitungan surat suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada 27 Juni 2018 dan rekapitulasi hasil penghitungan suara oleh KPU pada 28 Juni–9 Juli 2018.

 

Gangguan dimaksud dapat bersumber dari politik uang, yang diprediksi jadi perpecahan karena nafsu angkara yang meminggirkan etika berpolitik santun. Selanjutnya,  hoax, yang biangnya dapat berasal  dari  jejaring sosial, yang meliputi media oneline (dari situs website, blogspot dan sejenisnya), dan macam-macam medsos yang  kita kenal lewat aplikasi chatting (ngobrol) di Whatsapp, Facebook, Instagram,  messenger, line, BBM, kakaotalk dan twitter, yang  kini membanjiri perangkat smart phone berbasis android maupun sarana warung internet (warnet).

 

Kita kerap dibingungkan oleh platform informasi, yang hasilan  berita yang seolah-olah benar, tetapi kenyataannya tidak demikian. Tetapi problema makin rumit, lantaran kini muncul pula perang medos antara sesama penyebar hoax itu sendiri dengan cara hoax kontra hoax palsu, yakni membalas berita palsu dengan berita tambah miring pula. Umpamanya, “Saat mengunjungi satu kawasan, si B membagikan sesuatu kepada warga,” namun kemudian direspon oleh orang lain dengan ciutan berbeda: “Bukan hanya si B yang nyawer, tetapi juga si C pun bagi-bagi kaus”. Alhasil, B dab C bingung tiada alang, karena tidak ada bukti permulaan yang cukup menyebutkan tudingan tersebut.

 

Tak cukup sampai di situ. Di jejaring sosial, kini sudah ada pula aplikasi yang seram: memberi dan menerima imbalan kini sulit pula terlacak, lantaran figurnya anonim (tidak diketahui identitasnya). Namanya: Secret.

 

Di aplikasi ini, pengguna dapat mengirim uang, sembako dan janji-jani melalui pesan pada sesama pengguna tanpa diketahui namanya. Pengguna tak hanya dapat mengirimkan pesan dan sejenisnya pada teman saja, melainkan juga pada publik. Dengan demikian, pengguna tak perlu cemas soal kerahasiaan identitasnya. Hebatnya, dalam hitungan detik, pesan bisa menjangkau jutaan warganet (netizen)! Wow!

 

SAATNYA BUDAYAKAN LITERASI, DAN KECERDASAN

 

Pilkada serentak, termasuk di Sumut harus dijadikan momen untuk melakukan perlawanan habis-habisan dengan menyiapkan jurus pamungkas, tameng penangkal dan komitmen terpadu, menyeluruh dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stake holder) dan seluruh elemen masyarakat.

 

Kita harus berpacu melawan waktu karena masalahnya tidak berdiri sendiri, tetapi ada yang menyertainya, termasuk makin bertambahnya  pengguna internet di Indonesia yang tahun 2017 mencapai 143,26 juta jiwa dan. jumlah pengguna telepon seluler mencapai 371,4 juta. Artinya, rata-rata setiap penduduk memakai 2 telepon seluler, karena satu orang terkadang menggunakan 2-3 kartu telepon seluler.

 

Ini artinya kita terperenyak dua kali: maraknya politik uang yang melalui modus berita hoax di satu pihak, dan menggelembungnya jumlah pengguna internet dan telepon selular sebagai sarananya di lain pihak.

Yang jelas kita tidak boleh kalah. Yang membuat kita bangga adalah kita sering mendapat pujian. Komisioner KPU RI, Ilham Syahputra menegaskan, Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi paling besar dan menjadi contoh bahwa Sumut masyarakatnya beragam, namun bisa hidup rukun bersama. Dan Sumut pun menjadi barometer dalam setiap pelaksanaan pilkada, karena selalu berlangsung aman, damai dan lancar.

 

Jadikan pujian ini sebagai kekuatan kita untuk  berpikir lebih logis dan cerdas, karena  misalnya dalam hal teknologi, dengan segala macam bentuk perangkatnya yang menciptakannya adalah manusia. Dan manusia itu pula yang punya cara pula untuk menangkalnya.

 

Berpikir logis dan cerdas itu – yang sesungguhnya adal dalam diri kita — masuk dalam kategori  perlawanan gangguan tadi, yang sudah saatnya dibudayakan, dibangkitkan dan dijadikan momentum penguatan bagi masyarakat, termasuk  Sumut.

Jika mencakup unsur media, termasuk medos, maka sudah saatnya kita tidak terbawa pikiran dan terbuai dengan kecanggihan teknologi yang ada dalam media sosial itu, tetapi  harus memiliki kemampuan untuk memahami, menganalisis, dan baik-buruknya pengaruh media. Kemampuan untuk melakukan hal ini ditujukan agar kita sebagai konsumen media (termasuk anak-anak) menjadi sadar (melek) tentang cara media dikonstruksi (dibuat) dan diakses.

Segala  kekuatan  yang terkandung dalam literasi dan kecerdasan diharapkan menjadi nilai lebih bagi semua pihak, termasuk Pemprovsu dan instansit terkait termasuk Dinas Komunikasi dan Informatika untuk tidak gegabah – apalagi sepihak – menciptakan berbagai regulasi, perundang-undangan dan komitmen.

 

Dengan kelimat lain, harus ada penyelesaian masalah mulai dari hulu hingga ke hilir. Perlu ada gerakan sosial (aktif dan reaktif) dan budaya malu sebagai bangsa timur yang dikenal santun untuk berani  melawan segala bentuk  gangguan selama pilkda dan santun berujar di media sosial. Sanksi hukumnya harus ditegakkan: masyarakat perlu diberi literasi bahwa memproduksi maupun menyebarkan berita-berita hoax, dan negatif dapat dikenakan Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dengan ancaman hukuman bisa mencapai empat tahun penjara atau denda Rp250 juta.

 

Adapun di sisi hilir, perlu ada pengawasan intensif masuknya produk telepon selular ilegal, dan aplikasi yang tak cocok dengan budaya Indonesia dibarengi pencegahan berupa penghapusan pemblokiran konten negatif yang isinya cuma cari sensasi dan menyebarkan berita bohong.  Masih di sisi hilir, Kominfo harus tegas dan melaksanakan ketentuan yang berlaku jika, misalnya penyelenggara plaform informasi tidak menyediakan tim monitoring konten dan fitur report, untuk masyarakat agar bisa melaporkan langsung apabila menemukan konten berisi berita bohong maupun negatif.

 

Sekaitan  politik uang yang melanggar aturan kampanye yang dilakukan melalui berbagai cara, perlu ada langkah  pencegahan komprehensif. Kita memberi apresiasi kepada Polri dan jajarannya yang menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Jaksa Agung membuat Satgas Money Politic untuk mengawasi seluruh pasangan calon kepala daerah yang menggunakan uang agar lolos sebagai pemenang.

 

Namun lagi-lagi tak cukup hanya satu sisi saja Jika pencegahan berada di sisin hulu, maka di hilir, perlu  ada  kerjasama masing-masing perusahaan platform dengan pemerintah dan organisasi ataupun komunitas masyarakat dalam mencegah adanya konten internet negatif, terutama yang berbau politik uang.

 

Bagi Provinsi Sumut, kita berharap pilkada serentak jadi semangat bagi kita untuk melakukan perubahan yang lebih baik ke depan. Lebih-lebih provinsi ini berulang tahun ke-70 pada 15 April yang setiap tahun dirayakan. Jadikan HUT ini sebagai momen kekuatan sinergitas, komitmen dan kesungguhan untuk menunjukkan kita bertekad melawan hoax dan memerangi praktik politik uang agar masyarakat cerdas dan pilkada serentak menjadi berkualitas. Semoga ! (Partono Budy)

 

  • * Penulis Wartawan Kanalmedan.com, tulisan disertakan dalam Lomba Karya Tulis HUT ke-70 Pemprovsu tahun 2018

 

Print Friendly