Survei LAPK-YLKI: Minuman Berpemanis Ancam Kesehatan Anak

KANALMEDAN – Minuman berasa, khususnya rasa manis, seolah sudah menjadi tradisi bahkan budaya sebagian besar masyarakat Indonesia. Bahkan minuman manis dianggap suatu nilai lebih dan kemewahan, dari pada air putih, atau sekadar teh tawar hangat.

Fenomena minuman manis makin kuat, makin menjadi kegandrungan masyarakat Indonesia, khususnya anak-anak, remaja, dan generasi muda. Penguatan fenomena ini tersebab oleh adanya intervensi korporasi melalui iklan, promosi, dan sponsorship di semua lini media. Dengan gempuran iklan dan promosi ini makin meneguhkan bahwa minuman manis menjadi ikon dalam berkonsumsi, bahkan dalam pergaulan sosial.

Kondisi tersebut perlu dilakukan langkah-langkah sekaligus memberi pemahaman kepada masyarakat selaku konsumen untuk mencegah munculnya risiko penyakit dari kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi makanan dan minuman berpemanis.

Lembaga Advokasi Perlindungan Konsumen (LAPK) Sumut bersama Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menggelar diskusi bertajuk Sosialisasi, Edukasi dan Pelatihan Cukai Minuman Berpemanis Dalam Kemasan di Kota Medan yang digelar di Hotel Grand Mercure Medan, Rabu (13/12) siang.  

“Hadir dalam pelatihan tersebut, Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi dan Wijanarko dari Jakarta, sementara fasilitator dan narasumber Tim YLKI Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Narasumber Siti Romaito Rambe, S.Tr, Gz Ahli Gizi RSU Muhammadiyah Sumut Fatima R. Hutabarat, ST Bea Cukai Sumatera Utara,” ujar Sekretaris LAPK Padian Adi S Siregar.

Tulus Abadi di sela diskusi mengatakan, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2018, prevalensi remaja gemuk dan obesitas berusia 13-15 tahun di Indonesia mencapai 20% dan remaja gemuk berusia 16-18 tahun sebesar 13,6%. Individu yang mengalami obesitas mempunyai resiko 2,7 kali lebih besar untuk terkena diabetes (Trisnawati & Soedijono, 2013).

Selain itu, data Internasional Diabetes Federation pada tahun 2021 menunjukkan bahwa kematian akibat diabetes di Indonesia mencapai 63,3%. Terdapat studi yang menunjukkan keterkaitan antara gaya hidup yang kurang baik seperti kurangnya aktivitas fisik dan konsumsi asupan makanan yang tidak sehat dengan gejala diabetes (Fatmala, 2022). Data global Food Research (2023) memperlihatkan bahwa sudah ada 56 negara di dunia yang menerapkan Cukai Minuman Berpemanis.

Dijelaskannya, tujuan pelatihan ini memberikan pemahaman dan pengetahuan kepada kelompok konsumen tentang bahaya konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan secara berlebihan. Membangun pemahaman organisasi kelompok konsumen tentang urgensi perlunya regulasi cukai MBDK tahun 2024.

“Mempersiapkan langkah-langkah dan komitmen bersama selanjutnya dalam mempersiapkan advokasi dari tingkat regional. Peserta kegiatan ini terdiri dari fasilitator pelatihan dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, kemudian narasumber dan peserta dalam diskusi bersama pakar pada kegiatan ini yaitu narasumber terdiri dari ahli gizi dan pakar cukai. Kemudian peserta dalam kegiatan ini adalah perwakilan dari kelompok konsumen di Kota Medan,” katanya.

YLKI telah melakukan survei “Konsumsi Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) di 10 Kota”. Survei dilakukan pada awal-pertengahan Juni 2023, di 10 kota di Indonesia, meliputi: Medan, Lampung, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogya, Surabaya, Balikpapan, Makassar dan Kupang. Survei dilakukan dengan cara wawancara, pemilihan responden secara acak berjenjang, dari mulai tingkat kelurahan, RT/RW, kemudian memilih rumah tangga, dan memilih individu. Responden adalah orang yang pernah mengonsumsi minuman manis dalam kemasan dalam sebulan terakhir. Total responden yang terjaring adalah 800 responden, dan masing masing RT dijaring 10 responden.

Atas fenomena itu, ada temuan penting survei YLKI, yaitu anak dan remaja Indonesia gemar mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Terbukti 1 dari 4 (25,9 persen) anak usia kurang dari 17 tahun mengkonsumsi MBDK setiap hari, bahkan 1 dari 3 (31,6 persen) anak mengkonsumsi MBDK 2-6 kali dalam seminggu. Tentu ini fenomena yang sangat mengkhawatirkan.

“Mudahnya akses pembelian MBDK menjadi salah satu pemicu utama anak dan remaja mengkonsumsi MBDK. MBDK sangat mudah diakses dan bisa dibeli dalam jarak 2 sampai 10 menit. Responden membeli MBDK via warung (38 persen), minimarket (28 persen), supermarket (17 persen), dan akses lainnya (termasuk fasilitas kesehatan seperti rumah sakit, lalu fasilitas umum lainnya seperti sekolah) sebesar 18 persen,” kata Tulus.

Selain akses pembelian yang sangat mudah, aspek motivasi menjadi faktor penentu bagi anak dan remaja dalam mengkonsumsi MBDK. Hasil survei menunjukkan, rasa penasaran menjadi faktor yang paling tinggi sebesar 32,4 persen, kemudian disusul faktor enak rasanya sebesar 27,1 persen, dan faktor ketiga adalah aspek harga sebesar 14,4 persen. Sedangkan aspek aspek lainnya meliputi, influencer (6,4 persen), pengaruh anggota rumah tangga (5,8 persen), iklan di media massa (3,8 persen), aspek teman (3,6 persen), media sosial (3,4 persen), dan ada juga pengaruh tetangga, sebesar 3,3 persen.

Oleh karena itu, pemerintah harus segera menindaklanjuti penerapan cukai MBDK di tahun 2024 sebagai langkah untuk mengawasi pola konsumsi dan mencegah prevalensi diabetes pada anak dan remaja. Menurut Laporan Global Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang implementasi cukai MBDK yang baru dirilis bulan ini, setidaknya per Juli 2022, sudah ada 108 negara di dunia yang memberlakukan cukai MBDK.

Dukungan publik terhadap wacana pengenaan cukai MBDK cukup signifikan. Dan dari  sisi perilaku, 1 dari 5 konsumen yang disurvei mengatakan bahwa dirinya akan mengurangi konsumsi MBDK, bahkan meninggalkan konsumsi MBDK. Dengan kata lain, pengenaan cukai sebagai instrumen pengendali konsumsi MBDK cukup efektif. Pengenaan cukai pada MBDK sudah sangat urgen untuk melindungi konsumen Indonesia. Supaya efektif, penerapan cukai MBDK perlu tanpa pengecualian, dan diberlakukan secara komprehensif. (Nas)

Print Friendly

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.