Umar YR Lubis: Waktunya Habis, TPA Harus Ditutup

Umar YR Lubis

KANALMEDAN – Tempat Pemrosen Akhir (TPA) sampah rumah tangga dan atau sampah sejenis sampah rumah tangga, waktunya sudah habis, sehingga harus ditutup. TPA yang bersifat open dumping (penimbunan terbuka) selambat-lambatnya 5 tahun sejak Undang-Undang Sampah No. 81 Tahun 2008 diberlakukan.

“Jika pada saat ini masih ada pemerintah kabupaten/kota yang mengoperasikan TPA yang bersifat open dumping, dan atau TPA yang tidak layak berarti pemerintah kabupaten/kota tersebut telah ikut melakukan pencemaran lingkungan. Padahal ada tekhnologi sederhana dan mudah dalam menangani sampah, yaitu insenerasi (pembakaran),” jelas praktisi lingkungan Umar YR Lubis di Medan, Jumat (14/04/2023).

“Karena dengan tekhnologi ini, hanya membutuhkan lahan 10000 m2 ( 1 ha ) sudah dapat dioperasikan untuk membakar’ sampah dengan kapasitas 50 ton perhari,” imbuhnya.

Penanganan sampah dengan tekhnologi ini, dapat berasis pada kecamatan, dengan konsep 1 kecamatan 1 Incenerator. Dengan lahan yang seluas itu, tekhnologi ini dapat diaplikasikan di tengah kota. Bukan hanya itu, wilayah kepulauan juga dapat mengelola sampah di daerahnya sendiri, tidak harus membawa sampah tersebut keluar pulau.

Dengan teknologi insenarasi ini, pencemaran terhadap lingkungan itu akan lebih mudah mengatasinya, karena di lokasi tersebut ada pengolahan air indinya, dan sampah tidak bertumpuk lama, sehingga gas metana (CH4) itu tidak sempat muncul. Dengan demikian konsep insenerasi inilah untuk menyelesaikan permasalahan sampah itu secara tuntas, dan lingkungan tidak lagi tercemar, karena pencemaran lingkungan itu adalah pidana.

“Sampai sekarang belum ada yang menggugat pengelola sampah tersebut, karena penanggung jawab pengelola sampah yang melakukan pencemaran terhadap lingkungan itu seharusnya dipidanakan. Indikasi pencemaran itu adalah 1. Air lindi tidak terolah, 2. Tidak adanya pengelolaan gas metana (CH4) dilokasi TPA,” kata Umar.

“Aneh saja, kita bayar retribusi sampah, akibat pengelolaan sampah yang dilakukan tidak tepat, pada akhirnya terjadi juga pencemaran lingkungan, kenapa untuk mencemari lingkungan kita harus bayar? Kalo cuma memindahkan saja, masyarakat pun bisa melakukannya,” tambah praktisi lingkungan ini.

Untuk menyelesaikan masalah sampah itu, kata Umar, bukan ‘bisa atau tidak’, akan tetapi ‘mau atau tidak’, karena teknologinya itu sudah ada, dan dananya juga ada. “Jika pemerintah daerah masih ikut melakukan pencemaran lingkungan, mana mungkin pemerintah kabupaten/kota mampu memaksakan hukuman terhadap pelanggar perda tentang pengelolaan sampah dan atau pencemaran lainnya,” tandasnya.

Umar berharap kepada seluruh pemerintah daerah agar masalah sampah ini menjadi perhatian serius, bukan hanya ‘judul’. “Sudah lebih 2 kali masa jabatan bupati/walikota, sejak UU No. 18 tahun 2008 diberlakukan masalah sampah ini belum juga tuntas,” tuturnya. (Nas)

Print Friendly