Ketua Dewan Pers: Harga Kertas Mahal, Banyak Media Cetak Berimigrasi ke Online
KANALMEDAN – Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, saat ini banyak media konvensional (cetak) di Indonesia tutup dan bermigrasi ke online seiring perkembangan zaman khususnya era revolusi 4.0 yang berkembang pesat. Di sisi lain bisnis media cetak dihimpit sulitnya ekonomi yang membuat harga kertas melonjak hingga 27 persen dalam kurun waktu dua tahun ini.
“Kondisi beberapa media cetak yang sudah tutup, bukan disebabkan adanya gempuran dari munculnya media online. Tapi justru memang terpaksa tutup karena harga bahan baku yang mahal dan juga salah mengelola manajemen perusahaan,” kata Yosep pada pada Seminar Jurnalistik yang digelar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Medan Area (UMA) di Convention Hall kampus I PTS tersebut, Jalan Kolam Medan Estate, Kamis (14/3).
Seminar bertema “Jurnalis dan Media Menghadapi Tantangan Gelombang Digital” itu juga menghadirkan pembicara Rektor UMA Prof Dr Ir Dadan Ramdan MEng MSc, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Medan Liston Damanik dan Ketua Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) Sumut Farianda Putra Sinik. Seminar dipandu dosen FISIP UMA Ara Auza.
Di depan ratusan mahasiswa dan wartawan, Yosep mengatakan, sesungguhnya masyarakat Indonesia masih membutuhkan media cetak. Tapi harga kertas selama dua tahun belakangan ini tidak masuk akal sehingga membuat limbung perusahaan pers.
“Untuk itu kami mendukung teman-teman di Serikat Perusahaan Pers (SPS) akan beraudiensi ke Presiden dan Menteri Perindustrian untuk meminta subsidi harga kertas,” ungkapnya.
Dikatakannya, data diperoleh dari SPS beberapa tahun lalu jumlah perusahaan media cetak di Indonesia sebanyak 640 perusahaan. Tahun ini menurun tinggal 300 perusahaan. Sebagian besar tutup dan migrasi ke media online.
Bahkan, sebut Yosep, media cetak ekonomi terbesar di dunia The Financial Times tahun 2014 yang memiliki oplah 1,2 juta per hari tutup setelah oplah menurun menjadi 300 ribu per hari. “Media ini beralih ke online yang selama ini cetak oplah menjadi subscribe, dan pengunjung naik jadi 700 ribu,” ungkapnya.
Ke depan, tambah Yosep, media konvensional seperti media cetak, radio dan televisi akan menjadi bisnis senjakala dan bukan tidak mungkin menyongsong tutup.
“Banyak orang ketika bangun tidur tidak mencari media cetak, tapi mencari handphone untuk mencari informasi terkini,” ungkap mantan Wakil Ketua Komnas HAM ini.
Begitu juga dengan radio maupun televisi, menurut Yosep, akan terjadi kemajuan perubahan teknologi digital yang akan mengubah wajah pers Indonesia.
Yosep mengungkapkan data digital menyebutkan dari 262 juta penduduk Indonesia, 132 juta pengguna internet dan 371,4 juta jiwa pengguna handphone.
“Satu orang tidak hanya punya handphone satu, tapi ada yang dua atau lebih. Bayangkan jika satu orang punya banyak grup medsos, tentu informasi yang disampaikan cepat,” katanya.
Sementara untuk pengguna internet di Indonesia didominasi generasi milineal yakni mencapai 49 persen dengan usia 18-25 tahun dan 85 persen mereka memiliki smartphone.
Tapi, kata Yosep, saat ini masyarakat sudah jenuh dengan Media Sosial (medsos) karena tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, dan merujuk pada media yang kredibel yakni media mainstream baik cetak atau online.
“Jurnalisme itu akan abadi. Media mungkin akan berubah platform, tapi jurnalisme akan abadi dengan membutuhkan wartawan profesional,” tegas Yosep.
Sementara Rektor UMA Prof Dr Dadan Ramdan M Eng MSc mengatakan, media cetak saat ini tergerus di dengan teknologi digital yang dinilai lebih cepat menyampaikan informasi. “Namun begitu kita harus pandai memilih mana yang baik dan tidak, apalagi banyak berita hoaks,” imbaunya.
Kendati era digital mulai menggerus, Dadan menyakini masa depan media konvensional tetap dibutuhkan. “Memang sekarang ini segala informasi cepat tersaji melalui digital. Tapi saya yakin media konvensional masih dibutuhkan orang,” katanya. (Nas)