MPR RI dan FH UMSU Gelar FGD “Tata Cara Pelantikan dan Pemberhentian Presiden/Wapres”
KANALMEDAN – Majelis Permusywaratan Rakyat (MPR) bersama dengan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (FH UMSU) melaksanakan Focus Group Discussion (FGD) terkait dengan “Tata Cara Pelantikan dan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden”.
Kegiatan yang digelar di Hotel Santika Medan, Selasa (30/5/2022) dihadiri 4 anggota MPR diantaranya: Drs. H. Djarot Saiful Hidayat, M.S, H. Mustafa Kamal, S.S, H. Dedi Wahidi, S.Pd dan Moh. Haerul Amri, SP beserta Staf Ahlinya.
Dari Fakultas Hukum UMSU hadir Dekan, Dr. Faisal, S.H., M.H, dan narasumber/ahli diantaranya: Dr. Zainuddin, S.H., M.H, Dr. Eka NAM Sihombing, S.H., M,H, Benito Asdhie Kodiyat, S.H., M.H dan Andryan, S.H., M.H.
Dekan FH UMSU Dr Faisal, S.H., M.Hum menyanyampaikan pengembalian MPR sebagai lembaga tertinggi Negara menjadi penting untuk didiskusikan dalam hal menyikapi perkembangan dan kemajuan negara saat ini.
“Terkait dengan Pelantikan Presiden idealnya harus ada mekanisme dengan muatan yang jelas,” ujar Faisal.
Sementara itu, Djarot Saiful Hidayat menyebutkan pasca Amandemen UUD 1945, harus disadari bahwa sistem ketatanegaraan harus di benahi, MPR harus di tetetapkan sebagai lembaga tertingggi negara, karena MPR merupakan bagian dari representatif rakyat.
“Terkait dengan pelantikan presiden, sebenarnya sudah ada di dalam konstitusi kita, namun dalam praktiknya kewenangan tersebut tidak terlaksana sesuai amanah konstitusi, saat ini yang ada hanya surat kepiutusan KPU terkait dengan penetapan pemenang pilpres. Hal -hal yang berkait dengan ini harus kita cermati dan kita kaji lebih mendalam ujarnya, Djarot berharap amanat pasal 3 UUD 195 dapat dilaksanakan. Banyak hal lain yang menjadi bahan diskusi termasuk pentinganya kajian haluan negara,” jelasnya.
Selain itu, Djarot juga menyampaikan saat ini tidak ada sinergitas antara pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten kota, keberlanjutan antara satu gubernur dan gubrnur berikutnya.
Kemudian Dr Zainuddin SH MH menyampaikan, bahwa DPR, Gubernur dan Walikota dilantik dan memilki SK Pelantikan, lantas bagaimana dengan presiden,? Menurut Zainuddin, perbedaan yang sangat signifikan terjadi terhadap UUD 1945 sebelum dan setelah di amademen. terkait dengan masa jabatan presiden, hal itu merupakan salah satu dari alasan mengapa UUD 1945 di amandemen.
Zainuddin mengungkapkan kewenangan MPR terkait dengan pelantikan presiden idealnya harus dikembalikan. Ia merekomendasikan beberapa hal di antaranya; perlu adanya penambahan kewenangan MPR sebagai bentuk konsekwensi dari kewenangan melantik presiden dan wakil presiden dalam menjalankan tugas.
“Kemudian Harus ada kepastian hukum terkait pemberhentian presiden oleh MPR atas usul DPR paling lambat 30 hari. Dalam hal teta cara pemilihan dan pelantikan presiden dan wapres yang keduanya berhenti secara bersamaan,” ungkapnya.
Di sisi lain Dr. Eka NAM Sihombing menyampaikan ketika berbicara masalah ketatanegaraan, bahwa selama ini sering sekali ada pemisahan antara hukum tata negara dengan hukum adminsitrasi negara. Menurutnya hal itu tidak bisa dipisahkan
“Hemat saya hal tersebut tidak bisa dispisahkan,” tegasnya.
Lebih lanjut Eka NAM Sihombing menyampaikan pasca amandemen rumusan UUD 1994 MPR melantik dan mengangkat presiden. Dikatakannya, makna MPR melantik presiden adalah mengangkat. Pelantikan presiden bagian dari prosesi pemilihan presiden dan ada pendapat lain yang kontra terhadap hal tersebut. Pelantikan dan sumpah itu 2 hal yang berbeda, maka idealnya harus di atur lebih lanjut.
“Maka dari itu penting untuk dibuat instrumen hukum terkait dengan pelantikan presidenbaik itu berupa; keputusan MPR, Ketetapan MPR, produk hukum lainnya,” ujarnya.
Selanjutnya Andyan, S.H., M.H menyampaikan MPR merupakan representatif rakyat. Karena itu ia menekankan MPR harus tetap seperti sekarang.
“Namun, MPR harus ada kewenagan membuat haluan negara dan presiden harus bertanggungjawab dengan rakyat,” sebutnya.
Sementara itu, Benito Asdhie Kodiyat, S.H., M.H menyampaikan kedudukan MPR menjadi penting bagi konstitusi Indonesia, Menurutnya, bentuk pelantikan presiden dengan cara mengambil sumpah jabatan merupakan konsekuensi logis dari menggunaan sistem presidensial dan perubahan kedudukan MPR dalam desain kelembagaan negara.
“Sumpah merupakan hal yang sangat penting dalam penggangkatan presiden. Disisi lain, pentinganya gerakan haluan nasional dalam pembangunan nasional agar tidak berdampak terhadap pembangunan daerah,” ujarnya.
Sebagai penutup, anggota MPR RI Haerul Amri menyampaikan terkait dengan MPR, dimana ia menganalogikannya dengan sebuah keluarga. Tradisi kehidupan keluarga, idalnya harus ada yang lebih tinggi, lebih tua dan lebih dewasa sebagai rujukan. penting rasanya keberadaan lembaga tinggi negara, idealnya legitimasi terkait dengan pelantikan presiden harus di ciptakan.
“Maka dari itu, harapannya MPR melalui TP MPR Mengatur terkait dengan Tata Cara Pelantikan dan Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden,” pungkasnya. (Nas)