Ir Mauritz Panggabean PhD di UMA: Ironi Pendidikan Kita, Peserta Didik Tak Diajari Berpikir

Ir Mauritz Panggabean PhD (kiri) menerima cendermata dari WR Bidang Akademik UMA Dr Ir Siti Mardiana MSi didampingi Kepala LPPM Dr Ir Sumihar Hutapea MS seusai diskusi ilmiah.

KANALMEDAN – Alumni Norwegia University of Science and Technology (NTNU), Ir Mauritz Panggabean PhD, mengungkapkan, peserta didik mulai dari pendidikan dasar, menengah hingga perguruan tinggi di Indonesia hanya dijejali buku pelajaran. Mereka hanya diajari untuk belajar dan belajar, tapi tak diajari berpikir.

“Ini sebuah ironi besar dalam pendidikan Idonesia. Kita diajari berbagai macam pelajaran, tapi kita tak diajari menggunakan otak untuk berpikir kreatif,” kata Maritz Panggabean saat menjadi narasumber pada diskusi ilmiah bertajuk “Critical Thinking” di Covention Hall Universitas Medan Area (UMA), Jalan Kolam Medan Estate, Jumat (10/11).

Diskusi ilmiah dibuka Wakil Rektor UMA Bidang Akademik Dr Ir Siti Mardiana MSi, dihadiri Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyakat (LPPM) UMA Dr Ir Sumihar Hutapea MS, para dosen dan mahasiswa di lingkungan UMA.

Mauritz Panggabean yang kini menjadi Research and Development (RD) Engineer Appear TV Norwegia menceritakan, setelah menamatkan pendidikan S1 di Institut Teknologi Bandung (ITB) dia pernah menjadi dosen di Politeknik Informatika (PI) Del Toba Samosir (Tobasa). Maka hal pertama yang dia lakukan adalah meminta kepada Direktur PI Del untuk memberikan kuliah umum bertema “Learning How To Learn” yakni belajar bagaimana belajar.

“Karena banyak hasil studi bidang ilmu otak (neurosains) bagimana otak manusia paling efektif, optimal dan baik bekerja. Tapi peserta didik jarang diberi pemahaman bagaimana cara meggunakan otaknya,” kata alumni SMAN 12 Helvetia Medan ini.

Dijelaskannya, kalau dosen atau guru memaparkan istilah-istilah baru dalam slide pasti peserta didik akan kesusahan mengingatnya, karena otaknya memang tidak didesain untuk itu. Karena itu yang perlu dirangsang bagaimana menggunakan otak untuk berfikir kreatif.

Dalam diskusi itu, Mauritz juga berkisah hingga bisa berkarier di Norwegia. Ketika jadi dosen di PI Del Tobasa, katanya, dia ingin menjadi dosen yang serius. Untuk itu dia harus studi  lanjut S2 hingga S3. Dia kemudian mendapat beasiswa penuh dari pemerintah Belanda untuk S2. Setelah menamatkan pendidikan S2 di Belanda,, dia melamar beasiswa S3 di Norwegia.

“Untungnya, S3 di Norwegia diberi gaji yang cukup. Bahkan mungkin tertinggi di dunia sekitar Rp700 juta hingga Rp800 juta per tahun. Sayangnya, yang banyak mengambil beasiswa di Norwegia itu bukan dari Indonesia tapi dari China. Padahal informasi beasiswa dipublis di online dan juga diberitahukan ke kampus-kampus di seluruh dunia,” katanya.

Sebelumnya, Wakil Rektor UMA Bidang Akademik Siti Mardiana dalam sambutannya berharap, kehadiran Mauritz sebagai narasumber bermanfaat bagi dosen dan mahasiswa UMA bagaimana cara mendapat beasiswa studi lanjut di luar negeri.

“Dikskusi ini sangat tepat. Karena UMA saat ini sedang getol-getolnya go internasional. Sekarang dosen UMA wajib S3,” kata Siti Mardiana. (Nas)

Print Friendly