Menyikapi Sistem Zonasi PPDB


Oleh: Hasrita Lubis*, Syaiful Anwar**, dan Ahmad Muhajir**

Setiap orang tua pasti menginginkan anaknya mendapat pendidikan terbaik. Realitas kekinian menggambarkan kesan yang nyaris mutlak bahwa masa depan bergantung pada pendidikan. Oleh sebab itu, para orang tua selalu ketat memperhatikan arah pendidikan anaknya. Dambaan masuk ke sekolah favorit pun menjadi indikator “keberhasilan” masa depan sang anak, baik untuk para orang tua maupun peserta didik itu sendiri. Belum lagi status yang disandang jika bersekolah di sekolah favorit.

Situasi yang dihadapi para orang tua akhir-akhir ini menjadi sedikit rumit dan runyam. Masuk ke sekolah favorit tak bisa lagi diharapkan oleh setiap orang tua dan peserta didik karena batasan-batasan aturan secara harfiah. Jarak antara rumah dan sekolah menjadi aturan baru dalam memilih sekolah. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan & Kebudayaan No. 51 tahun 2018, Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dilakukan secara zonasi. Para peserta didik yang melanjutkan ke jenjang berikutnya harus berjarak dari radius sekolah terdekat yang ditempuh. Artinya prioritas penerimaan peserta didik baru didasarkan atas jarak tempuh peserta didik dengan sekolah. Sistem ini yang membuat rumit dan runyam karena muncul pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat.

Menurut Pemerintah, sistem zonasi adalah kebijakan yang bertujuan dalam pemerataan pendidikan. Selama ini sekolah-sekolah favorit selalu diisi oleh orang-orang berkemampuan secara materi maupun pengaruh. Akibatnya masyarakat kebanyakan tidak memiliki kesempatan menempatkan anaknya ke dalam sekolah-sekolah favorit, kecuali anak tersebut memang berprestasi atau menonjol, itu pun hanya sebagian yang tertampung. Selebihnya diisi oleh keluarga-keluarga “kuat” tadi.

Tidak salah juga, tapi sulit untuk dibenarkan. Sebab, di perkotaan sekolah-sekolah favorit berada di titik-titik strategis begitu juga keluarga “kuat” yang kerap tinggal di titik-titik strategis. Seperti Medan, sekolah SMA N 1 berada di Jl. Teuku Cik Ditiro No. 1 dan bisa dilihat keluarga yang tinggal di sekelilingnya berasal dari kalangan menengah ke atas. Pertanyaannya sekali lagi, perlukah sistem zonasi dalam pemerataan pendidikan di Indonesia?

Berawal Dari Kurikulum Era Orde Baru

Di masa Orde Baru, persoalaan pendidikan menjadi proyek unggulan dalam keberhasilan pembangunan. Indira Ardanareswari dalam Tirto.id (24/6/2019) menunjukkan bahwa kuantitas lulusan peserta didik menjadi hal yang utama dalam keberhasilan pembangunan. Karena itu perubahan-perubahan penting dilakukan untuk mengganti kebijakan sebelumnya yang tak sejalan dalam nafas pembangunan.

Periode kedua kepemimpan Soeharto, ketika menteri pendidikan saat itu Syarief Thayeb yang juga seorang Letnan Jenderal TNI, pemerintah merombak sitem kurikulum 1968 ke kurikulum 1975 dimana ujian negara diganti menjadi ujian sekolah. Persoalan ini mengemukan setelah banyaknya peserta didik yang gagal ujian negara sehingga muncul keengganan dari masyarakat untuk sekolah. Padahal saat itu pemerintah membutuhkan banyak sumber daya manusia. Akhirnya sistem ujian negara menjadi ujian sekolah.

Ketika Daoed Joesoef menjadi menteri pendidikan (1978-1983) perubahan terjadi dengan menggabungkan ujian nasional dan ujian sekolah ke dalam bentuk Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA) dan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS). Bentuk tersebut adalah sistem soal yang dilakukan oleh pihak sekolah untuk EBTA dan sistem soal yang dilakukan oleh negara untuk EBTANAS. Nilai yang didapat menjadi dari EBTA/EBTANAS menjadi syarat untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya.

Persoalan dari sistem nilai yang diambil berdasarkan kurikulum pada Orde Baru adalah kecurangan baru dari bocornya soal. Khususnya terjadi persaingan antar sekolah yang berharap menjadi pilihan orang tua untuk menyekolahkan anaknya. Nilai tinggi menjadi segala-galanya untuk memasuki sekolah favorit meskipun harus menggunakan cara culas seperti yang dilakukan sekolah-sekolah nakal tersebut. Hal ini masih belum digabung dengan keculasan oknum orang tua siswa yang memiliki pengaruh di pemerintahan atau uang untuk memuluskan anaknya masuk ke sekolah favorit. Tentunya hal itu telah menjadi rahasia umum di tengah-tengah masyarakat sehingga pemerintah sekarang ini memerlukan formula baru dalam pemerataan pendidikan dengan cara zonasi.

Menimbang Baik Buruk Sistem Zonasi

Persoalan yang mengemuka sekarang ini adalah bahwa zonasi hanya memperburuk keadaan pendidikan kita yang dirasa sudah buruk. Keresahan dan keluhan muncul dari masyarakat karena adanya kejanggalan, ketidakjelasan dan ketidakadilan dari sistem zonasi. Para pengamat pendidikan menilai bahwa terdapat sekolah-sekolah di daerah satelit (pinggiran) yang masih sepi peminat sekalipun dari pelosok dibandingkan dengan di perkotaan yang favorit sekalipun memiliki penduduk yang berlebih. Tentunya hal tersebut menjadi pertimbangan atas tujuan pemerataan pendidikan, karena setiap wilayah menghadapi situasi yang berlainan, khususnya wilayah kota dan desa.

Bagaimanapun juga sistem zonasi adalah program pemerintah yang masih relatif baru. Kebijakan baru selalu memiliki pro dan kontra. Efeknya baru bisa dilihat jauh ke depan. Sebagai instasi, FKIP-UISU optimis bahwa kebijakan ini baik untuk masyarakat, tentunya dengan pengawalan-pengawalan yang sebagaimana mestinya agar program zonasi berjalan lancar. Contohnya adalah situasi kota dan desa yang tentunya tidak sama sehingga memerlukan sistem rayon agar daerah-daerah satelit dan pelosok dapat bersiap diri dengan sistem zonasi. Sekolah-sekolah baru perlu diatur secara khusus untuk calon peserta didik di domisili dan sekitar radius tanpa peduli jarak. Hal ini bertujuan menjamin ketersediaan sekolah sekalipun berjarak jauh dari calon peserta didikan dan meminimalisir potensi blank spot di daerah-daerah pelosok.

Satu hal yang menjadi perhatian tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) dalam sistem zonasi adalah kuota yang diterapkan. Meskipun terdapat pengurangan kuota dari 90 persen menjadi 80 persen, dan jalur prestasi dari 5 persen menjadi 15 persen berdasarkan kebijakan Mendikbud melalui Surat Edaran tanggal 21 Juni 2019 kepada Gubernur/Bupati/Walikota tentang pengurangan kuota siswa dari jalur zonasi, hal tersebut perlu diperhatikan ulang. Masyarakat masih berdalih kebijakan tersebut belum sepenuhnya adil. Bagi Darmaningtyas, Pengamat Pendidikan, memandang semestinya kuota yang diterapkan adalah 50:50 Kompas (22/6/2019). Terlepas dari perbandingan angka-angka tersebut, FKIP-UISU percaya bahwa pemerintah dapat mengevaluasinya sampai mendapatkan formulasi terbaik dengan kuota yang berlaku adil juga jujur.

Masyarakat tidak harus khawatir terhadap kebijakan zonasi ini. Pendidikan bukan persoalan seberapa favoritnya sebuah sekolah. Pendidikan juga sangat dipengaruhi oleh lingkungan keluarga, tempat tinggal, dan bahkan alam. Keseimbangan dari semua itu Insyaallah mengantarkan anak pada kesuksesan dan kemandirian dalam berpikir. Justru dengan sistem zonasi kita berharap akan menghadirkan sekolah-sekolah favorit dan unggulan yang baru. Dengan begitu di masa depan para orang tua akan bingung karena sekolah favorit terlalu banyak muncul, baik di kota maupun daerah pelosok.

*Penulis adalah Dekan FKIP UISU

**Penulis adalah Dosen FKIP UISU

Print Friendly