Karom Kloter 09 Minta Pemerintah Evaluasi Pengelompokan Syarikah di Tanah Suci

KANALMEDAN, Medan – Pemerintah diminta meninjau dan mengevaluasi skema pengelompokan berbasis syarikah secara menyeluruh yang diterapkan di Makkah. Sebab kebijakan yang disebut-sebut sebagai bagian dari upaya peningkatan kualitas pelayanan, justru terjadi kekacauan, karena terpisahnya jamaah haji Indonesia di Mekkah maupun kawasan Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armuzna).
Ketua Rombongan (Karom) Kloter 09 asal Kota Medan, Ikhwansyah Nasution, setiba di Tanah Air, Minggu (22/6/2025) mengatakan kekacauan ini penyebab utamanya adalah sistem pengelompokan syarikah yang tidak berbasis zonasi domisili.
“Kejadian tahun ini sungguh memprihatinkan. Banyak jamaah yang terpisah hotel bahkan tendanya, hanya karena tergabung dalam syarikah berbeda, padahal berasal dari provinsi yang sama,” ujarnya.
Menurutnya, model pengelompokan saat ini terlalu acak dan mengabaikan faktor kenyamanan serta efisiensi dalam pelayanan. Karenanya ia menyarankan agar pemerintah, khususnya Kementerian Agama dan instansi terkait, mulai menerapkan sistem pengelompokan syarikah berdasarkan zonasi wilayah jamaah.
“Kalau disusun berdasarkan zonasi, misalnya provinsi-provinsi di Sumatera bagian utara seperti Sumut, Aceh, Riau, Kepulauan Riau, Sumbar, dan Jambi digabung dalam satu syarikah, lalu Sumsel, Bengkulu, dan Lampung di syarikah lain, maka jamaah satu provinsi tidak akan tercerai-berai,” jelasnya.
Ia menambahkan, zonasi juga akan memudahkan pemerintah dalam pengelolaan visa, logistik, dan akomodasi, karena satuan wilayah menjadi lebih terorganisasi dan seragam.
“Saya kira ini perlu jadi evaluasi serius ke depan. Supaya ibadah lebih tenang, koordinasi lebih gampang, dan tidak ada lagi jamaah yang kebingungan hanya karena asal daerahnya tidak diakomodasi dengan baik,” tegas Ikhwansyah.
Selain menyoroti pengelompokan syarikah, Ikhwansyah juga menekankan perlunya perbaikan serius dalam proses seleksi istitha’ah, atau kemampuan kesehatan jamaah sebelum diberangkatkan ke Tanah Suci.
Menurutnya, seleksi kesehatan yang dilakukan sejauh ini masih terkesan longgar dan tidak konsisten.
Ia mengungkapkan bahwa di kloternya, terdapat jamaah yang wafat di Tanah Suci dan ternyata menderita kanker stadium empat.
“Apakah penyakit itu tiba-tiba muncul saat di Mekkah? Tentu tidak. Ini jelas bentuk kelalaian dalam proses istitha’ah. Kalau seleksi medis dilakukan dengan sungguh-sungguh, hal seperti ini seharusnya bisa dicegah,” ujarnya.
Ia juga menyebut adanya jamaah lansia uzur, penderita stroke, serta penyakit kronis lain yang tetap lolos seleksi dan diberangkatkan, padahal secara medis sudah tidak layak menempuh ibadah haji yang sangat berat secara fisik.
Ikhwansyah meminta agar proses seleksi istitha’ah benar-benar dijalankan secara objektif, transparan, dan tanpa kompromi.
Ia menekankan bahwa keberangkatan jamaah yang secara fisik tidak mampu justru membahayakan diri sendiri dan menjadi beban moral serta logistik bagi jamaah lain dalam satu kelompok.
“Seleksi ini bukan soal belas kasihan, tapi soal keselamatan dan keberlangsungan ibadah yang khusyuk. Kalau masih ada kompromi dalam aspek kesehatan, maka kita sedang mempertaruhkan nyawa jamaah di tengah ibadah yang sakral,” tegasnya.
Ia berharap masukan ini tidak berhenti hanya sebagai keluhan musiman pasca-haji, tapi benar-benar menjadi bahan evaluasi nasional, agar pelaksanaan haji ke depan lebih tertib, manusiawi, dan terlindungi secara medis. (sor)