Syaiful Syafri: Jika Konflik Batas Wilayah Daerah Tidak Diakhiri Dapat Menimbulkan Bencana Sosial

KANALMEDAN, Medan – Keputusan Mendagri Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 yang ditetapkan pada tanggal 25 April 2025 tentang batas wilayah Provinsi Aceh dengan Sumut yakni 4 pulau tanpa penduduk, menimbulkan tanggapan dan gejolak sosial masyarakat Aceh hingga viral di media sosial.

“Jika dikaji dari aspek Ilmu Kesejahteraan Sosial, berbagai gejolak dan tanggapan tentang batas wilayah, khususnya 4 pulau kosong tanpa penduduk, tidak bisa diterima masyarakat Aceh dan bila tidak segera diakhiri, akan memicu konflik sosial masyarakat Aceh dan Sumut. Dan bila berkepanjangan dapat menimbulkan bencana sosial,” kata pekerja sosial Syaiful Syafri di Medan, Kamis (12/6/2025).

Syaiful sendiri pernah ikut menangani masyarakat korban bencana sosial 1998 di Aceh yang mengungsi ke Sumut seperti penampungan pengungungsi di tenda-tenda, penyediaan makanan dan minum, kesehatan, kebutuhan MCK dan pemulangan pengungsi ke daerah asal.

“Masalah batas wilayah harus segera diakhiri, karena kedua pimpinan provinsi dan masyarakatnya sejak kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 telah hidup rukun dan saling mengisi kebutuhan pembangunan seperti transportasi, perkebunan, pendidikan, perdagangan, dan lainnya untuk kesejahteraan masyarakat sesuai pembukaan UUD 1945,” kata Syaiful.

Sebaiknya, kata Syaifuk, kembali kepada kesepakatan bersama tahun 1992 yang ditandatangani Gubernur Sumut Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Ibrahim Hasan juga disaksikan Menteri Dalam Negeri RI Rudini waktu itu, berlanjut penetapan tapal batas dengan 6 pilar batas Kabupaten Aceh Singkil, Tapanuli Tengah dan Dairi oleh Pemkab Aceh Singkil bekerjasama dengan Tofografi Iskandar Muda dan Bakosustanal.

“Apalagi di tahun 2012, telah ditindaklanjuti dengan dibangunnya Tugu Kordinat Tapal Batas oleh Dinas Cipta Karya dan Bina Marga, sehingga kita tidak usah merujuk sejarah tapal batas sebelum dan sesudah kemerdekaan, atau sejarah tahun sebelumnya demi menjaga kerukunan masyarakat kedua daerah dan menjaga kamtibmas yang kondusif,” kata Syaiful.

Dikatakan, jika penetapan Tapal Batas Daerah dalam kaitan anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) kedua provinsi, dan anggaran dimaksud tidak dipergunakan untuk empat pulau yang tidak memiliki penduduk maka tidak mungkin anggaran menjadi temuan BPK karena tidak dialokasikan di pulau-pulau tersebut.

“DAU bersumber dana APBN yang diperuntukkan sebagai biaya pegawai, pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dan laun-lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan RI No. 16 tahun 2024 guna pemerataan pembangunan di daerah sehingga jika ada wilayah seperti pulau tidak berpenduduk tidak membutuhkan anggaran,” katanya.

Atau jika di empat pulau dimaksud memerlukan anggaran dari APBN, maka Pemerintah Pusat dapat mengambil kebijakan anggaran untuk pengelolaannya, dan biasanya pulau yang kosong tanpa penduduk di tengah samudra cukup menempatkan pengawasan TNI AL untuk menjaga tapal batas sebagai antisipasi kemungkinan dijarah negara asing.

“Jika masalahnya Sumber Daya Alam (SDA) atau pariwisata di kedua provinsi, mengapa harus berebut tapal batas, karena baik Sumut dan Aceh memiliki SDA yang cukup seperti gas dan minyak bumi atau pertambangan, perkebunan apalagi objek wisata,” tutur Syaiful.

Untuk Sumut misalnya SDA berupa gas atau minyak bumi ada di Kabupaten Batu Bara dan sudah dirapatkan secara nasional di Jakarta persiapan investasinya di tahun 2019. Juga masih tersedia di Kabupaten Langkat, sedang kepariwisataan di Sumut untuk 33 kabupaten dan kota punya potensi pariwisata yg menarik di setiap kabupaten dan kota sesuai SDA dan budaya lokal daerah.

“Sayangnya SDA di dua provinsi belum dikelola oleh pemerintah daerah atau masyarakat sesuai standar kebutuhan wisatawan mancanegara seperti di Bali dan Yogyakarta atau investor. Belum bersedia mengelola karena kebijakan daerah belum mendukung kenyamanan investor secara regulasi dan kenyamanan wisatawan ketika berkunjung,” ucap Syaiful.

Sebagai pekerja sosial, Syaiful cenderung konflik batas daerah di akhiri, dan kedua pemerintah daerah dan masyarakat segera menangani kebutuhan mendesak , seperti penanganan kemiskinan ekstrim 0 % tahun 2026, turunnya kemiskinan terstruktur 3 % tahun 2029, sekolah gratis untuk SD dan SMP serta pemerataan pendidikan di tingkat SMA dan SMK.

Kebutuhan mendesak lainnya, tegas Dosen Prodi Ilmu Kesejahteraan Susial Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) 1986 – 2022 ini, membangun pelayanan kesehatan masyarakat yang baik, menurunkan stunting, dan menciptakan lapangan kerja baru bagi pengangguran dan PHK, meningkatkan ketahanan pangan untuk kesejahteraan sosial masyarakat sesuai pembukaan UUD 1945. (Nas)

Print Friendly

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.