Prof. Syawal Gultom: Ada 3 Hal Fundamental Pendidikan Indonesia Raih Bonus Demografi
KANALMEDAN – Guru Besar Universitas Negeri Medan Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd. menjadi narasumber pada Seminar Nasional yang bertema Peran pendidikan dalam memastikan bonus demografi bisa diraih” yang diselenggarakan oleh Universitas Yarsi Jakarta, pada Rabu (10/01/2024).
Dalam Seminar Nasional bertajuk “Peran Pendidikan dalam Memastikan Bonus Demografi Bisa Diraih” ini menghadirkan pakar-pakar pendidikan Indonesia yang sudah tidak diragukan lagi perannya dalam membawa kemajuan pendidikan di Indonesia hingga saat ini. Para pakar yang dihadirkan dan memberikan gagasan konstruktifnya diantaranya Emil Salim, Fasli Jalal, Syawal Gultom, Amich Alhumami, Nawawi, Sudarno Sumarto, Abdul Malik, Shintia Revina, Muchlas Samani, Anita Lie, Iwan Pranoto, Fauziah Fauzan El Muhammady, Tedy Setiawan, Doni Koesoema, dan Yan Feski
Pada pemaparannya Ketua Senat Universitas Negeri Medan, Prof. Dr. Syawal Gultom, M.Pd. menyampaikan ada 3 hal fundamental tetang pendidikan untuk memastikan meraih bonus demografi. Pertama, Momentum peran pendidikan yang dimulai dari sekolah hari ini. Gambaran masa depan Indonesia dilihat dari hari ini. Rentang waktu tahun 2024 – 2045 atau 20 tahun mendatang, pendidikan dapat terus berlangsung baik dari rumah, sekolah, masyarakat dan dunia kerja. Sehingga ditahun 2045, akan terwujud Indonesia Emas.
Kedua, Substansi Pendidikan Indonesia, Kurikulum seharusnya tidak terbatas pada kompetensi/CP. Konten, proses dan assesment, akan tetapi kebijakan nasional dan lokal tentang peta SDM yang sesuai dengan stuktur dan fokus kepada keunggulan daerah. Bahkan kurikulum termasuk kebijakan pemetaan potensi anak Indonesia untuk bidang akademik, profesi dan vokasi. Sejatinya, kurikulum itu potret dan capaian peradaban berbasis nilai dengan mengandalkan dan fokus pada hasil/produk kekuatan berpikir yang hakiki berupa ide, gagasan, ilmu, teknologi dengan menggunakan basis informasi dan petunjuk yang sudah pasti benar secara epistomologis, aksiologis apalagi secara ontologis, sehingga anak Indonesia seperti yang disebut Barbara J Duck, arrive at informed judgments, memiliki high level skills, dan memiliki the ability to function in a global community, dan/atau apalagi untuk Indonesia.
Dengan pendekatan kuantitatif seharusnya TK/PAUD 95% adalah muatan tentang sikap, 5 % pengetahuan dan keterampilan, SD, idealnya 80% itu sikap, 20 % itu pengetahuan dan keterampilan, SMP, idealnya 50% sikap, 20% pengetahuan, dan 30% itu keterampilan. SMA, sepatutnya 35 % sikap, 25% pengetahuan, dan 40% keterampilan. PT sepatutnya 10 % sikap, 25% pengetahuan, dan 65 % keterampilan. (Zonasi berbasis keunggulan, diberi kewenangan mengawal laluan Pembangunan). Perlu tafsir ulang kurikulum nasional mulai TK-PT yang tidak “dikungkung” paradigma ilmu dan teknologi dan agitasi global, tetapi tafsir yang bermula dari Pembukaan UUD 45 dan sesuai cita-cita luhur bangsa Indonesia di masa depan yang diterjemahkan pada ilmu dan teknologi, nilai dan karater, bukan sebaliknya seolah-olah ilmu dan teknologi yang dipaksakan menyesuaikan diri dengan tujuan berbangsa, bernegara, berpolitik, berdemokrasi, berekenomi dan berbudaya di Indonesia.
Ketiga, Strategi Pendidikan dengan berfokus pada SDMnya bukan sistemnya. Ini bukti empirik yang tidak fokus pada SDM nya. Bila pada level mikro Solusi jangka pendek adalah mengubah Susana pembelajaran di Indonesia maka secara sederhana paling tidak terkait dengan: Model Pembelajaran, Keselarasan antara ASK, Integrasi HOTS, TPACK (AI, VR, AR, VC dsb.) Kemudian Mengubah suasana belajar di kelas, motivasi belajar siswa, Selanjutnya, Memacu kreativitas anak Indonesia menuju Inovasi politik, demokrasi, ekonomi, sosial dan budaya. Sehingga Bangsa akan berdaulat dan bermartabat sesuai Pembukaan UUD 1945. (Nas)