Menteri ESDM: PLTA Tulang Punggung Pengendalian Perubahan Iklim
KANALMEDAN – Pembangkit listrik tenaga air (PLTA) bersama pembangkit listrik geotermal sangat diandalkan untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam produksi listrik nasional. Peningkatan penggunaan energi terbarukan ini penting untuk mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) demi mengendalikan bencana perubahan iklim.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Senin (29/4/2019), menyatakan PLTA dan geotermal adalah tulang punggung produksi listrik yang bersumber dari energi baru dan terbarukan (EBT). Sebanyak 10% dari 13% porsi penggunaan EBT dalam produksi listrik nasional, disumbang PLTA dan geotermal. Sementara 3% sisanya bersumber dari pembangkit EBT lain seperti panel surya, angin maupun biomassa.
“PLTA dan geotermal ini backbone, karena bisa ciptakan listrik skala besar,” kata Jonan usai penandatangan nota kesepahaman dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, di kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Jakarta.
Jonan menyatakan, jika memang penggunan energi terbarukan untuk pengendalian perubahan iklim ingin terus ditingkatkan, maka dia berharap KLHK bisa terus memberikan dukungan untuk pengembangan PLTA dan geotermal.
Terkait pembangunan salah satu PLTA, yaitu PLTA Batangtoru di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, menyatakan proyek tersebut penting untuk mendukung pasokan listrik di Sumatera. Proyek yang pembangunannya saat ini sedang berjalan itu pun sudah lama masuk dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) Nasional karena kebutuhan listrik yang begitu mendesak di Sumatera. “Kalau tidak urgent, tidak akan dibangun,” kata Jonan.
Dia mengakui ada perhatian publik terhadap pengembangan pengembangan proyek tersebut terutama terkait konservasi orangutan. Jonan menyerahkan sepenuhnya persoalan tersebut kepada KLHK.
Dirjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem KLHK Wiratno menjelaskan, saat ini pihaknya masih terus melakukan continous monitoring untuk memantau eksistensi orangutan yang ada di sekitar areal proyek PLTA Batang Toru. “Tim saya masih terus bekerja di lapangan,” katanya.
Dia menegaskan, hingga saat ini tidak ada orangutan yang terluka apalagi sampai terbunuh sebagai dampak dari pembangunan PLTA Batang Toru. Ini juga dipengaruhi oleh sikap masyarakat setempat yang tidak memusuhi orangutan.
Wiratno menuturkan, PLTA Batang Toru sejatinya dibangun di areal penggunaan lain (APL) yang berada di luar kawasan hutan. Meski demikian, di lokasi masih terdapat tutupan hutan yang masih baik. Nantinya, areal yang terbuka untuk pengembangan PLTA hanya 60 hektare dari total bentang alam Batang Toru yang seluas 140.000-an hektare. Hutan yang ada di wilayah hulu akan tetap dipertahankan untuk memastikan pasokan air untuk membangkitkan listrik tetap tersedia.
Soal kelestarian orangutan, Wiratno menyatakan, yang juga harus diperhatikan adalah dampak dari aktivitas pertambangan emas dan perkebunan sawit yang ada di bentang alam Batang Toru. “Ada 4 konsesi kebun sawit, luasnya sekitar 25.000 hektare,” katanya.
Menteri LHK Siti Nurbaya menambahkan, pengembangan proyek listrik EBT penting untuk mencapai komitmen penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia untuk pengendalian bencana perubahan iklim global. Indonesia menargetkan untuk menurunkan emisi GRK sebesar 29 persen dari praktik business as usual (BAU) pada tahun 2030 berdasarkan upaya sendiri. Dua sektor terbesar yang menyumbang penurunan emisi GRK itu adalah sektor kehutanan dan energi masing-masing sebesar 17 persen dan 11 persen.
Menteri Siti menyatakan, saat ini pihaknya sedang melakukan kajian untuk meningkatkan kontribusi sektor energi hingga 24 persen dengan mengandalkan pengembangan EBT. “Banyak langkah-langkah yang sudah diambil Kementerian ESDM yang bisa berdampak pada penurunan emisi GRK,” katanya. (Nas)