Putusan MA Tidak Digubris di Labuhanbatu
KANALMEDAN – Persoalan antara Koperasi Lestari Kusuma Bangsa dengan PT Grahadura Leidong Prima (GLP) dan PT Sawita Leidong Jaya (SLJ), Kabupaten Labuhanbatu Utara (Labura), Sumatera Utara (Sumut) terus bergulir.
Hal tersebut seperti diungkapkan oleh ketua Koperasi Lestari Kusuma Bangsa (LKB), Achyarudin.
“Kejahatan kemanusiaan terus terjadi di lokasi Hutan Tanaman Rakyat (HTR) milik kami di Kabupaten Labuhanbatu Utara. Hak-hak kami dirampas oleh pemilik modal,” kata Achyarudin lewat sambungan telepon, Minggu, (18/6/2017).
Padahal, dijelaskannya, keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) telah memenangkan pihaknya. Surat keputusan banding (kasasi) di MA menyatakan, pihak PT SLJ dalam memori kasasi ini sebagai penggugat, tidak berhak di lahan tersebut. Hal itu ditandai dengan surat putusan MA dengan Nomor 185K/TUN/2014.
“Antara lain menimbang bahwa pihak badan peradilan tidak dapat memerintahkan tergugat untuk memperoses Izin Usaha Perkebunan (IUP) di lokasi tersebut,” jelas Achyar.
Akan tetapi, ditambahkannya, putusan MA tersebut tidak digubris oleh PT SLJ.
“Sebab, hingga saat ini, lahan tersebut belum bisa dikelola masyarakat dan hasilnya masih dinikmati oleh pengusaha dan penguasa,” tambah orang nomor satu di Kooperasi LKB ini.
Tidak hanya itu, Achyar menerangkan, akibat sengketa ini, timbul berbagai masalah. Seperti intimidasi terhadap masyarakat, terus terjadi dari sejak sengketa dimulai, sekitar tahun 1996 hingga kini. Ironisnya, pihak kepolisian setempat cendrung berpihak pada pengusaha yang beroperasi tanpa izin tersebut.
“Karena terus diintimidasi hingga korban berjatuhan di pihak kami, antara lain dipenjarakan karena kasus tidak jelas, kami melaporkan persoalan ini ke Presiden Jokowi, Mabes Polri dan Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI),” terangnya.
Begitupun, ia mengungkapkan, pihaknya sangat mengapresiasi Presiden, Mabes Polri dan komisi III DPR-RI yang telah memproses laporannya. Sebab para petinggi di Jakarta sudah menyatakan lahan tersebut adalah hak masyarakat.
“Saat ini komisi III telah memproses laporan kita. Begitu juga dengan Mabes Polri yang telah melakukan penyelidikan dan akan meningkatkan statusnya menjadi penyidikan,” ungkapnya.
Selain itu, Achyarudin berharap, agar hukum ditegakkan di Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Labura, Sumut. Sebab mereka menghitung, dalam 5 peristiwa sebanyak 30 orang yang menjadi korban kriminalisasi oleh penguasa yang berpihak pada pengusaha terkait persoalan ini.
“Kami tidak berharap kekayaan dari lahan tersebut. Hanya saja kami meminta agar bisa bercocok tanam sesuai program pemerintah yang tertuang pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 171,” harapnya.
Sebagaimana diketahui, pada tahun 1996 Kooperasi LKB yang dipimpin Achyarudin membuka lahan ratusan hektare berlokasi di Desa Air Hitam, Kecamatan Kualuh Leidong, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumut. Pada tahun yang sama, PT GLP dan anak perusahannya PT SLJ juga mengelola lahan di lokasi yang sama dengan koperasi didirikan Achyarudin.
Namun, terdapat perbedaan antara lahan yang dikuasai PT dan Koperasi, yakni kedua perusahaan bergerak di bidang tanaman keras jenis kelapa sawit tersebut, mengelola tanah seluas 8300 hektare yang telah memiliki Hak Guna Usaha (HGU), namun ditengarai cacat prosedural. Artinya, tanah yang dikelola perusahaan tersebut belum ada pelepasan dari Kemenhut kepada PT GLP dan PT SLJ yang dimiliki oleh seorang pengusaha.
Tetapi, PT SLJ menguasai lahan seluas 895 hektare areal tanpa HGU dan sudah mati izin prinsipnya pada tahun 1998.
Sementara itu, Kemenhut telah merestui masyarakat melalui Kooperasi LKB untuk mengelola lahan seluas 816 hektare berdasarkan SK Nomor 171/Menhut/II/2013, pada 21 Maret 2013 lalu. Dan pada 24 Juni 2014, Kemenhut kembali mengeluarkan SK dengan Nomor 579/Menhut-II/2014, yang menetapkan luas Hutan Produksi Tetap (HTP) sekitar 72.406 hektare.
Kemudian, Kemenhut melalui Balai Pemantauan dan Pemanfaatan Hutan Produksi (BPPHP) Wiayah II, Medan telah mengeluarkan surat dengan Nomor S.1893/BP2HPII-3/2013 Perihal Pertimbangan Teknis IUPHHK-HTR atas nama Kooperasi Lestari Kusuma Bangsa. Atas keluarnya surat itu, secara otomatis Bupati Labura wajib menandatangani dan menyelesaikan IUPHHK-HTR.
Namun, Bupati mengeluarkan surat dengan Nomor s.231/VI-BUHT/2014, perihal tindak lanjut proses IUPHHK-HTR di atas areal yang masuk dalam program pencadangan HTR Kemenhut seluas 651 hektare. Dan sisa lahan masih digarap PT GLP seluas 225 hektare, lalu PT SLJ masih menduduki tanah seluas 276 hektare yang dikuasakan kepada Kooperasi LKB. Dengan begitu, sikap Bupati seolah-olah menolak restu Kemenhut yang sebelumnya telah mengizinkan masyarakat mengelola lahan.
Begitupun, jika diteliti secara seksama, permasalahan yang terjadi antara Kooperasi LKB dan dua perusahaan tersebut dapat selesai jika Bupati Labura menindaklanjuti surat dari Kemenhut untuk menandatanaginya. Dan yang menjadi akar masalah saat ini, yakni sikap Bupati yang enggan memberi restu kepada Kooperasi LKB, sehingga masalah yang muncul semakin rumit.
Tidak sampai di situ, jika para pihak terkait tidak juga mencarikan solusi permanen terhadap persoalan ini, dikhawatirkan timbul konflik sosial berkepanjangan yang akan menelan korban moril dan materil.(Adek/Dabit)