Air Mata Pungli

SEORANG anak tiba-tiba saja membuyarkan keheningan malam, di  Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Sumut.

Saat menjenguk ayahnya, yang ditangkap Tim Saber Pungli Polda Sumut atas dugaan kasus suap, tujuh jam sebelumnya, anak itu menangis histeris. “Untuk apalah ayah melakukan Pungli, gaji ayah kan sudah cukup untuk kita. Malu kami  ayah”, katanya.

Puluhan pasang mata  dari pengunjung dan petugas  Polisi, tertuju ke arah anak itu. Namun, tidak ada yang berupaya menghentikan keharuan itu, hingga akhirnya  sang anak diam sendiri dengan mata lesu. Dia nampak kecewa.

Sementara, sang ayah yang merupakan salah seorang Kepala Dinas di Pemprovsu, malam itu juga nampak terduduk diam. Malah, dari sudut matanya pun,  tiba-tiba meneteskan air mata. Mula-mula,  satu persatu,hingga akhirnya membekas dipipi yang mulai keriput.

Disampingnya, salah seorang kerabat  sang pejabat yang kena OTT itu, juga terlihat linglung. Pucat dan bibirnya bergetar. Dia pandangi wajah kerabatnya itu. Lalu, dia melirik ke arah kanan seolah melihat keluarganya yang lain.

Air mata pria separo baya  itu pun  akhirnya menetes deras. Dia bahkan  menangis dan memeluk sang pejabat yang duduk lesu disampingnya. Tragis betul.

Ya, malam itu, keluarga dan kerabat sang pejabat naas itu memang sedang menjenguk. Ada pemandangan sangat miris, menyaksikan pertemuan sang ayah yang kena OTT dengan keluarga tercinta.

Sebagai seorang jurnalis, saya kerap menyaksikan kejadian tragis seperti ini. Namun, walau sudah jamak menyaksikannya, toh tetap juga menoreh perasaan. Ada rasa pedih yang tak tertuliskan, apalagi menyaksikan betapa kecewanya keluarga akibat ulah sang ayah.

Tindakan sang ayah melakukan pungutan liar (Pungli) hingga akhirnya harus berurusan dengan hukum, pada akhirnya membuat keluarga kecewa. Ternyata, keluarga tercinta, tak satu pun yang menyetujui tindakan tercela. Keluarga pun, ternyata menanggung malu.

Tapi begitulah kehidupan. Dan penyesalan itu tak pernah disiplin, dia selalu datang terlambat.

Kini, nasi sudah menjadi bubur. Bisakah keluarga memanfaatkannya ? Mampukah keluarga mencampurnya dengan santan dan perasan gula aren, sehingga menjadi bubur sedap ? Tak tahu kita.***

Print Friendly