Shohibul Nilai Tjahjo Terlalu Simplistic

Shohibul Anshor Siregar
Shohibul Anshor Siregar

KANALMEDAN – Dosen Ilmu Politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar, menyesalkan pernyataan Mendagri Tjahjo Kumolo di Medan.

Pernyataan dimaksud, yakni menyatakan secara simplistic bahwa ukuran keberhasilan Pilkada serentak di 171 daerah di Indonesia adalah partisipasi politik.

“Pernyataan seorang petinggi negara, apalagi dalam jabatannya sebagai Menteri Dalam Negeri, itu, saya anggap berusaha membungkus secara rapih fakta-fakta buruk demokrasi di Indonesia”, kata Shohibul Anshor Siregar kepada wartawan di Medan, Minggu pagi ini,(17/09/2017).

“Tjahjo terlalu simplistic dan saya duga itu disebabkan ambisi kekuasaan rezim yang begitu kuat dalam pikirannya sebagai menteri yang berasal dari the ruling party yang ingin melestarikan kekuasaan”, ujar Anshor melanjutkan.

Koordinator Pengembangan Basis Sosial Inisiatif & Swadaya (‘nBASIS) ini meyakini,partisipasi politik berkorelasi dengan tingkat kepercayaan masyarakat kepada system, terutama kepemiluan dan dimensi demokrasi lainnya.

“Partisipasi politik apa yang bisa diharapkan jika masyarakat tahu para calon yang maju tak sesuai dengan harapan mereka”, ujarnya.

Masyarakat kini tahu bahwa jumlah uang yang dapat disetor dan kedekatan seseorang dengan pimpinan pusat partai adalah factor penentu seseorang ditetapkan sebagai calon kepala daerah.

Bercermin dari pilkada Jakarta, praktik money bombing sudah menjadi cara yang direstui secara de facto. Mestinya hal-hal krusial itulah yang perlu menjadi perhtian serius di Indonesia saat ini, dan dalam kapasitasnya sebagai Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mestinya terdorong secara politik dan moral untuk membenahi aspek-aspek demokrasi non electoral lainnya.

Misalnya, berdasarkan fakta-fakta yang ada, Indeks Demokrasi Indonesia (2016) adalah 70,09, mengalami penurunan dari tahun sebelumnya 72,82. Penurunan ini dipengaruhi 3 aspek demokrasi, yakni aspek kebebasan sipil yang turun 3,85 poin dari 80,30 menjadi 76,45.

Kemudian hak-hak politik yang turun 0,52 poin, dari 70,63 menjadi 70,11. Aspek ketiga ialah lembaga-lembaga demokrasi yang mengalami penurunan 4,82 poin, dari 66,87 menjadi 62,05.

Penurunan capaian demokrasi Indonesia pada aspek kebebasan sipil diakibatkan oleh fakta meningkatnya hambatan kebebasan berkumpul dan berserikat dan ini lebih banyak disebabkan oleh factor kepemrinahan.

Ekspresi pemerintahan tak responsive dan itu bermakna menjauhi Nawacita, diiringi oleh ketakpedulian masyarakat mengoreksi kinerja pemerintah. Orang merasa tak ada yang akan berubah selain pencitraan belaka.

Semua ini berakar pada aspek lembaga demokrasi yang pada tahun-tahun menghabiskan sisa periode pemerintahan jauh lebih mementingkan masalah suksesi daripada kesejahteraan masyarakat. Peran partai politik dan peran birokrasi pemerintah misalnya, kini sudah tak lagi berfokus kepada kepentingan masyarakat, melainkan kekuasaan yang hendak diawetkan.

“Ini terjadi secara nasional, mulai dari pemerintahan pusat hingga daerah dan desa”, tegasnya.

Jika demokrasi hanya urusan yang terbatas kepada penentuan siapa pemegang mandat pemerintahan seperti yang sekarang menjadi trend tunggal di Indonesia, sudah barang tentu masyarakat tidak merasa punya urusan dengan itu.

Satu lagi kata dia, hal yang mesti menjadi perhatian bagi Tjahjo Kumolo ialah bagaimana praktik Pilkada dapat naik kelas, dari sekadar transaski menjadi proses politik luhur mengindahkan aspirasi rakyat.

Bisakah negeri ini memastikan bahwa uang bukanlah penentu pemenang dalam pilkada, pileg dan pilpres?

Menurut Shohibul Anshor, seharusnya itulah diprioritaskan oleh Kemendagri dalam membangun demokrasi Indonesia.

Mendagri  harusnya faham bahwa demokrasi itu tak boleh dibajak oleh elit Jakarta dengan oligarki yang mematikan hak-hak masyarakat.

Demokrasi itu adalah nilai yang harus disebar merata dan penuh kepada setiap insan Indonesia tanpa kecuali.

Karena itu Shohibul Anshor mengingatkan Tjahjo Kumolo, agar lebih menjadi negarawan ketimbang menjadi skrup partai politik yang menjelma menjadi mesin kekuasaan partisan.(Jen)

Print Friendly