Krisis Rohingya, Ini Pernyataan Sikap KAM

HohingyaKANALMEDAN – Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut etnis Rohingya sebagai etnis yang paling menderita di muka bumi. Etnis minoritas ini tertolak di Myanmar, tertindas di Bangladesh.

Mayoritas etnis Rohingya tinggal di Rakhine, salah satu bagian propinsi di Myanmar. Namun, mereka tidak memiliki identitas kewarganegaraan Myanmar karena dianggap imigran ilegal dari Bangladesh.

Sebaliknya, Bangladesh tidak mau menerima mereka karena dianggap sebagai warga Myanmar.

Oleh sebab itu, ketiadaan identitas ini menyebabkan mereka tidak memiliki akses pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan tempat tinggal layak.

Bahkan, ruang gerak mereka dibatasi hanya lingkup geografis tertentu. “Sejak 1982, Etnis Rohingya telah mengalami persekusi dan pengusiran berulang kali. Terakhir, sepanjang pekan ini, tidak kurang 3.000 orang melarikan diri ke perbatasan Bangladesh karena kebrutalan yang dilakukan oleh militer Myanmar,” ujar Dewata Sakti, ketua Komunitas Anak Merdeka (KAM) kota Medan, usai membacakan pernyataan sikapnya terkait genosida di Rohingya, Jumat, (15/9/2017).

Dewa menjelaskan, jumlah korban dari etnis Rohingya mencapai kurang lebih 800an orang, termasuk perempuan dan anak-anak. “Berkaitan dengan itu, Pelajar Kota Medan yang tergabung di Komunitas Anak Merdeka menyatakan sikapnya,” jelas pelajar SMA Negeri 1 Medan ini.

Berikut pernyataan sikap KAM terkait krisis kemanusiaan di Rohingya.

Pertama, mendesak PBB untuk ikut menangani secara sungguh-sungguh bahkan bila perlu mengambil alih tragedi kemanusiaan yang telah dan sedang berlangsung secara terus menerus di Myanmar. Sudah terbukti secara meyakinkan pemerintah Myanmar tidak bersedia menghentikan praktik genosida terhadap etnis Rohingya.

Kedua, mendesak para aktivis HAM dan kemanusiaan di seluruh dunia untuk memberikan perhatian serius terhadap kasus genosida etnis Rohingya sehingga tragedi ini bisa diakhiri.

Ketiga, mendesak ASEAN untuk menekan Myanmar agar menghentikan praktik genosida terhadap etnis Rohingya. Bila dalam waktu yang dipandang cukup hal tersebut tidak dilakukan oleh Myanmar, maka wajar bagi ASEAN untuk mempertimbangkan pembekuan keanggotaan negara tersebut di ASEAN.

Karena besarnya jumlah korban, ASEAN perlu untuk tidak mengedepankan prinsip non-intervensi dan menggantinya dengan keharusan untuk ikut bertanggung jawab atas nasib dan melindungi etnis Rohingya.

Empat, mendesak komite Hadiah Nobel untuk mencabut Penghargaan Nobel Perdamaian bagi Aung San Suu Kyi, salah seorang pemimpin terkemuka Myanmar, yang alih-alih menunjukkan kesungguhan untuk mengakhiri tragedi kemanusiaan di Myanmar, akan tetapi justru memperburuk keadaan.

Lima, mendesak Mahkamah Kejahatan Internasional (International Criminal Court – ICC) untuk mengadili pihak – pihak yang bertanggung jawab atas praktik genosida terhadap etnis Rohingya di Myanmar.

Keenam, meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mengevaluasi kebijakan diplomasi sunyi (non – megaphone diplomacy) yang selama ini diterapkan terhadap Myanmar karena tidak berhasil mendesak Myanmar mengakhiri praktik-praktik genosida terhadap etnis Rohingya.

Ketujuh, meminta Pemerintah Republik Indonesia untuk mempertimbangkan kemungkinan disediakannya sebuah kawasan/daerah di Indonesia untuk menampung sementara pengungsi Rohingya sebagaimana yang pernah dilakukan terhadap pengungsi perang Vietnam di Pulau Galang beberapa dekade silam.

Delapan, Mengimbau dunia internasional untuk menangkap dan mengadili Ashin Wirathu dan Aung San Suu Kyi sebagai otak pelaku penjahat kemanusian. Jika kedua orang ini tidak ditangkap dan diadili sejarah peradaban manusia akan mengalami kemunduran yang sangat parah.

Sembilan, mengimbau pemerintah melalui presiden Jokowi agar mengirimkan TNI ke Myanmar sebagai bentuk tekanan dan penyalamatan kemanusian terhadap muslim Rohingnya.

“Pernyataan sikap pelajar Kota Medan yang tergabung di Komunitas Anak Merdeka ini sebagai respon terhadap perkembangan terkini di Myanmar yang dampaknya berpotensi mengancam situasi keamanan dan stabilitas di kawasan Asia Tenggara dengan kemungkinan tumbuhnya kelompok perlawanan terhadap Myanmar, perdagangan manusia, imigran ilegal yang membanjiri kawasan,” tandas Dewa.(Adek)

Print Friendly