Ketua DPD GMPK Sumut Pamostang Hutagalung, ST: Penggusuran Warga di Bantaran Rel KA tidak Manusiawi

 

ogek

KANALMEDAN – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Sumatera Utara, Pamostang Hutagalung, ST (foto) menegaskan, upaya penggusuran sepihak yang dilakukan PT Kereta Api Indonesia (KAI) terhadap warga yang berada di bantaran rel Kereta Api (KA) tidak manusiawi dan mengabaikan hak kehidupan masyarakat. Untuk itu, pihaknya siap mengadvokasi para korban penggusuran semena-mena ini hingga ke ranah hukum.

“Kita akan bawa permasalahan ini ke ranah hukum, sehingga pengadilan lah nanti yang memutuskan, termasuk ganti rugi yang wajib diterima korban penggusuran,” kata Pamostang kepada Kanalmedan.com, di Medan, Selasa siang (28/11).

Keprihatinan GMPK terhadap permasalahan yang dihadapi para korban penggusuran ini bukan tanpa alasan. Meski GMPK yang didirikan pada tanggal Oktober 2013 ini dan diketuai mantan Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto merupakan gerakan yang bertujuan untuk memerangi korupsi, namun mereka juga terpanggil untuk menyikapi kondisi bangsa saat ini yang dirundung nestapa akibat ketimpangan pembangunan.

“Kita mendukung pembangunan rel ganda kereta api, tetapi janganlah kemudian hak-hak warga diabaikan begitu saja. Para warga yang sudah hidup puluhan tahun hidup dan kebetulan berada di pinggiran rel digusur begitu saja, cuma dikasi Rp 1,5 juta per warga, yang katanya uang ganti rugi. Itu bukan ganti rugi, tapi uang pindah,” tegas Pamostang.

Dijelaskannya: “Jujur ya, kita mau tanya, itu tanah punya siapa. Yang kita ketahui punya Belanda, lalu mana surat pengalihan kepemilikan dari Belanda ke Indonesia? Ya, selama belum ada kepastian, ya wajar warga yang kondisi kehidupannya pas-pasan tinggal dan membangun rumah di bantaran rel kereta api.”

TERKESAN DIPAKSAKAN

Pamostang mengherankan, meski sudah puluhan tahun tinggal, penggusuran tersebut seakan dipaksakan tanpa memperhatikan semua aspek dan sisi kemanusiaan. “Mereka (para warga korban penggusuran) itu bayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ke Pemko Medan. Mereka juga berperan menjaga bantalan kereta api dari aksi pencurian besi-besi rel tersebut,” ujarnya.

Yang memprihatinkan, lanjut Pamostang, setelah digusur tampak tidak ada solusi bagi para warga, sehingga ada dari mereka yang hidup jadi gelandangan karena tidak mempunyai rumah lagi.

“Saya yakin warga setuju digusur, tetapi ganti ruginya harus sesuai, pinomat dalam keadaan darurat, uang penggantinya setera dengan biaya bangun rumah sederhana, jumlahnya kira-kira Rp 50 juta,” tandasnya.

Terhadap langkah yang akan dilakukan GMPK, Pamostan menjelaskan, pihaknya sudah menghubungi beberapa warga untuk menyampaikan permasalahan ini. “Ada yang sudah membentuk wadah, namanya Forum Komunitas Masyarakat Pinggir Rel, tujuannya memberi tahu karena ada yang belum tahu. Nantinya, mereka diadvokasi agar bersama-sama melakukan langkah hukum. Namun untuk sementara, mereka diberi kesempatan karena ada pihak, termasuk partai politik yang mau menyelesaikan masalah ini,” ujarnya.

KORBAN PENGGUSURAN

Berdasarkan catatan, terdapat sekitar 1.600 warga yang menjadi korban penggusuran PT KAI, yang tersebar di sejumlah kecamatan – mulai dari Medan, Mandala, Tembung dan Belawan. Namun karena menolak, mereka menggelar aksi demo dan membakar ban, sehingga mengganggu bahkan mengancam terlaksananya pembangunan rel kereta api ganda (double track) sepanjang Stasiun Kereta Api Medan sampai Belawan oleh PT KAI, kemudian dari Medan ke Kualanamu. Mereka menolak karena sudah tinggal sejak puluhan tahun di pinggiran rel.

Hal yang sama juga dilakukan warga yang tinggal di sepanjang daerah pinggiran rel (DPR) di Jalan Perguruan dan Mandala By Pass, Gang Sabang Kelurahan Bantan Timur, Kecamatan Medan Tembung. Mereka melakukan perlawanan ketika rumahnya hendak dirubuhkan, oleh petugas PT Kereta Api Indonesia (KAI) menggunakan buldoser (excavator).

Anehnya, meski diwarnai perlawanan, PT KAI tetap akan menuntaskan penggusuran dan penertiban sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku. “Kita sudah peringatkan berkali – kali agar warga mengosongkan rumah, tetapi masih ada yang bertahan,” kata Humas PT KAI, Rupinus Situmorang kepada wartawan beberapa waktu lalu.

Untuk biaya yang dikeluarkan terkait penggusuran, pihak PT KAI menyediakan dana setiap keluarga Rp 1,5 juta dan itu sebenarnya bukan tanggungjawab PT KAI untuk memberikan dana tersebut, tetapi karena perusahaan memiliki kebijakan sebagai uang tali asih yang diberikan kepada 1.600 keluarga yang tinggal di sepanjang bantaran rel milik PT KAI. (tim)

 

 

Print Friendly